Selasa, 22 April 2014

KABUPATEN MANGGARAI : sejarah


                              KABUPATEN MANGGARAI.
Kabupaten Manggarai adalah sebuah kabupaten di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten adalah Ruteng. Luas wilayahnya adalah 7.136,4 km², termasuk pulau Komodo dengan jumlah penduduk 504.163 jiwa.
                        
Kabupaten Manggarai dikenal dengan pertaniannya, antara lain : kopi, cengkeh, vanili, cokelat, dan masih banyak yang lainnya. Orang Manggarai juga terkenal dengan keramahtamahannya.
Salah satu tarian yang terkenal dari Manggarai adalah tarian caci yang sudah terkenal di banyak negara seperti Eropa dan Australia.






                                 BENTUK LAMBANG
                KABUPATEN MANGGARAI

1. Bentuk lambang Daerah Manggarai ialah ”PRISAI” bersisi lima yang mempunyai arti:
    a. Prisai melambangkan alat pertahanan dan perlindungan seluruh rakyat;
    b. Sisi lima melambangkan Pancasila sebagai Dasar Negara.
2. Tata warna lambang berupa kuning, hijau, merah dan hitam diambil dari warna kain tenun rakyat daerah Manggarai yang mempunyai arti:
    a. Kuning adalah keluhuran dan keagungan serta kejayaan;
    b. Hijau adalah harapan masa depan atas dasar potensi yang ada di daerah;
    c. Merah adalah keberanian;
    d. Hitam adalah teguh dan abadi;
3. Lambang berisikan Rumah Adat melambangkan:
a. Alat pemersatu seluruh rakyat dalam satu kesatuan dan persatuan nasional dalam setiap   derap langkah pembangunan mental dan fisik yang mencerminan dalam tingkat kebudayaan, peradaban dan perjuangan hidup dari zaman ke zaman;
b. Sembilan tiang Rumah Adat memperteguh adanya pendirian bahwa seorang bayi yang baru dilahirkan setelah sembilan bulan dalam kandungan ibu adalah harapan bangsa.
4. Lukisan Gasing yang terdapat pada puncak rumah adat melambangkan keabdian dan keagungan Tuhan yang maha penyayang memberi dan menyinari segala yang hidup serta menyelenggarakan seluruh pusaran tata kehidupan daerah khususnya dan rakyak Indonesia pada umumnya.
5. Lukisan sepuluh (10) batang tulang ijuk (rimang) diatas kepala manusia melambangkan 10 jari tangan manusia menunjukan bahwa rakyat Manggarai senantiasa memuliakan Tuhan dan memohon berkat dan perlindunganNya.
6. Kepala manusia bertanduk mengandung arti bahwa rakyat didaerah Manggarai adalah manusia banteng dan atau manusia yang kokoh, kuat dan berani serta berkemauan bagaikan baja dalam menghadapi tantangan hidup.
7. Lilitan tali ijuk yang terdapat dibawah kepala manusia bertanduk yang mengikat seluruh kasau dan ujung atas atap ijuk melambangkan:
a. Bhineka Tunggal Ikha, keutuhan rasa kesatuan yang kokoh mengikat seluruh segi kehidupan rakyat didaerah yang tidak mudah terpengaruh;
b. Keutuhan dalam mufakat dan musyawarah yang melembaga dalam kehidupan seluruh rakyat daerah Manggarai.
8. Buaya darat (Varanus Commodoensis) sebagai satu-satunya reptil pra sejarah yang masih tetap hidup di daerah Manggarai, berwarna kuning berbintik coklat dan berdiri dalam keadaan siaga di depan rumah adat melambankan:
a. Daya tahan hidup seluruh rakyat daerah dalam menghadapi pelbagai tantangan hidup;
b. Kesiapsiagaan yang penuh ketenangan, kecermatan kewaspadaan dan kecekatan dalam setiap gerak kehidupan seluruh rakyat didaerah;
c. Museum bagi binatang jenis reptil pra sejarah yang bernilai tinggi untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
9. Lukisan satu tangkai kopi dengan 14 butir dan 8 daun kopi serta satu tangkai padi dengan 58 bulir padi melambangkan:
    a.  Potensi Daerah Manggarai dalam perjuangan untuk mempertinggi taraf hidup dan   kesejahteraan seluruh rakyat;
b. Tanggal dan Tahun berdirinya Daerah Tingkat II Manggarai secara yuridis formil 14 agustus  1958.
10. Pita merah dengan tulisan ”KABUPATEN MANGGARAI” melambangkan: keberanian,   sedangkan tulisan hitam diatas pita merah melambangkan keteguhan dan pendirian yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.
11. Ukuran Lambang:
a. Lebar prisai  : 22 cm
b. Tinggi prisai  : 18,5 cm kiri/kanan
c. Tinggi prisai tengah  : 24 cm

Sumber (Perda Nomor 1 Thn. 1983)

                                   SEJARAH MANGGARAI



Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Copa de Flores" yang berarti " Tanjung Bunga". Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad. 

Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.

Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
•    Etnis Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae,   Mbai, Rajong, dan Mbaen);
•    Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
•    Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
•    Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
•    Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.

Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo'o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.






a.      Sejarah pemberian nama Manggarai
Nama Manggarai berasal dari dua suku kata yaitu kata Manggar dan kata Rai. Kata Manggar diambil dari nama batu yang dibawa oleh Empo Masur seorang keturunan raja (Raja Luwu) dari Sumatera Barat yang artinya Watu Jangkar yang biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika Wangka (perahu) berhenti. Sementara itu, Watu Rai berarti batu asah yang digunakan untuk mengasah parang, tombak dan lain-lain oleh masyarakat setempat. Kedua batu ini merupakan dasar pemberian nama Manggarai.
 Empo Masur berdampak pada perubahan nama tempat yang ia datangi yaitu dari nama Nuca Lale atau Lale Lombong berubah menjadi Manggarai. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya nama Manggarai adalah Lale Lombong atau Nuca Lale. Adanya perubahan nama Nuca Lale atau Lale Lembong menjadi Manggarai karena kedatangan Empo Masur membawa banyak perubahan untuk masyarakat setempat. Kehadiran Empo Masur melahirkan istilah Caci, Lodok Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang di Manggarai.
Ada beberapa nilai budaya Daerah Manggarai yang sampai sekarang ini masih tetap dijaga kelestariannya. Yang pertama adalah budaya Caci. Caci pertamakali dipelopori oleh Empo Masur. Kata Caci itu sendiri berasal dari tiga suku kata yaitu ci gici ca. Ketiga kata ini memiliki kesatuan arti yaitu menguji kemampuan seseorang. Ci artinya menguji, gici artinya perorang, dan ca artinya satu. Jadi secara harafiah caci  berarti menguji kemampuan lelaki Manggarai satu persatu. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua laki-laki Manggarai mampu memperagakan Caci. Hal ini dikarenakan, Caci menuntut para aktornya untuk memiliki keberanian, kelincahan, keindahan suara, dan pandai bergoyang (lomes). Sejarah munculnya Caci di Manggarai diawali dengan inspirasi dari Empo Masur yang menghubungkan kebiasaan mereka di Sumatera Barat (Sabung Kerbau) sebagai budaya untuk menghibur masayarakat.
Perubahan yang dibuat Empo Masur bukan hanya terbatas pada pembentukan Caci sebagai budaya daerah. Ada beberapa istilah yang dibuat Empo Masur selama hidupnya di tanah Manggarai yaitu Lodok Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang. Sampai sekarang masyarakat Manggarai menggunakan istilah-istilah budaya ini dalam setiap perhelatan kegiatan kebudayaan.



b.      Perkembangan Manggarai
Pada masanya Manggarai memiliki enam (6) raja. Raja pertama adalah Raja Lanur yang berasal dari Wudi. Raja kedua adalah raja Sehak yang berasal dari Ntala Ruteng. Raja ketiga adalah Lontar yang dijuluki Melondek berasal dari Cabo bagian Cibal. Raja keempat adalah Tamur berasal dari Todo. Raja kelima adalah Ngambuk yang juga berasal dari Todo. Dan raja yang terakhir adalah raja Barut.
Pada masa Raja Lontar, daerah Manggarai dibagi kedalam bentuk Dalu. Dalu dalam pemahaman sekarang disebut Kecamatan. Ada 37 Dalu dalam Masa kepemimpinan Raja Lontar yaitu Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Pongkor, Poco, Leok, Sita Torok, Golo, Rongga Koe, Kempo, Rajong, Manus, Riwu, Ndehes, Cibal, Lamba Leda, Reok, Pasat, Nggalak, Bari, Rego, Congkar, Biting, Rembong, Pota, Manus, Ruis, Mata Wae, Mburak, Welak, Wontong, Lelak, Todo, Bajo, Nggorang, dan Raju.
Dalam perkembangannya Manggarai memiliki enam Kepala Daerah yang memimpin Manggarai hingga sekarang. Bupati Manggarai pertama adalah Klorus Hambur. Kemudian Manggarai dipimpin oleh Bupati yang kedua yaitu Frans S. Lega. Bupati yang ketiga adalah Frans D. Burhan. Bupati Manggarai yang keempat adalah Gaspar Ehok. Bupati Manggarai kelima adalah Anton Bagul Dagur. Bupati keenam yang menjabat sampai sekarang adalah Kris Rotok.
Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda dan sebagainya.
     Cina
     Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.
Jawa
     Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timor, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.
Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores, Solor,       Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.
     Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi).     Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal.
Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai di bawah Pimpinan Guru Ame numpung yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan 1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan dikuburkan di Compang Mano.
     Selain Kesultanan Goa dan Bima, Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.
Belanda.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.
Lepas dari masalah asal-usul nama Manggarai, kenyataan sejarah sekarang ini telah mengukir nilai historis yang baru di dalam nama Manggarai, yaitu nilai kemajuan atau perkembangan Manggarai menjadi tiga kabupaten yang terus mekar : 
(1)   Kabupaten Manggarai, ibu kotanya Ruteng;
(2)   Kabupaten Manggarai Barat, ibu kotanya  Labuan Bajo;
(3)   Kabupaten Manggarai Timur, ibu kotanya Borong.
Kabupaten Manggarai Barat diresmikan pada tanggal 27 Januari 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003. Kabupaten Manggarai Timur diresmikan pada tanggal 17 Juli 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007.
Namun demikian, tetap harus disadari terus-menerus bahwa keterangan barat dan timur itu hanya bersifat  administratif pemerintahan. Tanah Manggarai sebagai tana mbaté disé amé (tanah warisan leluhur) tetap mempunyai satu spirit budaya, yaitu lonto léok bantang cama réjé léléng (musyawarah mufakat) untuk menata kemajuan. Untuk mencapai kemajuan itu, tidak cukup hanya dengan modal kemampuan kerja sama. Kemampuan yang lebih penting dari kemampuan kerja sama ialah kemampuansaling menjadi sesama berdasarkan pikiran positif tentang sesama. Kemampuan saling menjadi sesamaberarti kemampuan untuk menyingkirkan pikiran negatif tentang cama iten (sesama kita orang Manggarai).

  sejarah perjuangan manggarai : motang rua


Motang Rua adalah pelopor perjuangan rakyat Manggarai untuk melawan Belanda. Belanda menguasai Manggarai, bagian Barat Flores, pada abad ke-16. Namun, penguasaan itu tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui kerajaan Goa-Makasar, yang saat itu membawahi wilayah Manggarai. Dengan kata lain, kerajaan Goa hadir sebagai kaki tangan Belanda di Manggarai. Eskpansi langsung Belanda ke Manggarai terjadi dalam tiga kali ekspedisi, yaitu tahun 1850, 1890, dan tahun 1905.
Kehadiran Belanda ini ternyata mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Motang Rua memulai geliat perlawanan nyata. Ia menghimpun pasukan dan kekuatan. Untuk melancarkan strategi perlawanannya, maka dibangun benteng pertahanan di Copu Manggarai Tengah. Aksi Motang Rua ini tercium oleh Belanda. Lalu pada tahun 1907 Belanda mengirimkan pasukan dari Ende ke Manggarai untuk melumpuhkan Motang Rua. Terjadilah pertempuran sengit.
Yang mengesankan, Motang Rua dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Padahal tentara penjajah ini menggunakan senjata modern. Sementara Motang Rua dan pasukannya hanya menggunakan senjata-senjata tradisional. Dalam kisah lisan, sering dituturkan bahwa senjata utama Motang Rua adalah kapak.
 Ia menghimpun kekuatan rakyat dan mengadakan persiapan perang dengan Belanda. Mereka membangun sebuah pusat pertahanan Copu.

Mendengar berita persiapan perang ini, Belanda lalu mengirim suatu ekspedisi tentara dari Ende ke Manggarai. Setelah ekspedisi ini tiba di Manggarai maka perang pun meletus dipimpin oleh Motang Rua. Perang ini terjadi pada tahun 1907. Dalam perang ini pasukan Belanda dikalahkan.

Baru pada tahun berikutnya, Belanda mengirim ekspedisi lain, untuk langsung menyerang pusat pertahanan Motang Rua di Copu. Maka terjadilah perang hidup-mati di Copu di bawah pimpinan Motang Rua. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi, dengan persenjataan modern maka akhirnya Motang Rua makin terdesak dan kalah. Ia ditangkap lalu dibawah ke Kupang untuk diadili. Dari kupang ia dibuang ke Bima kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan dan pada tahun 1923 ia di buang ke aceh.

Motang Rua mengakhiri hidupnya di Aceh. Tetapi semangat kepahlawanannya tidak pernah terbuang dari hati rakyat Manggarai dan seluruh rakyat NTT pada umumnya.

Lukisan Motang Rua

Menyusul pembuangan Motang Rua, banyak rakyat Manggarai diangkut ke Jakarta untuk dijadikan kuli di sana. Para kuli ini terus menetap di suatu tempat di Jakarta yang diberi nama Manggarai hingga sekarang. Daerah Manggarai kini termasuk wilayah Jakarta Selatan. Perjuangan Motang Rua dan rakyatnya pantas dicatat dalam tinta emas dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.

Nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan Motang Rua patut terpahat dalam hati dan pikiran setiap cucu-cece Motang Rua di Manggarai dan dimanapun mereka berdiam di nusantara ini. Mengikuti tempat pembuangannya yang terus berpindah-pindah hingga wafatnya di Aceh, adalah bukti ketakutan pemerintah Belanda terhadap perjuangan Motang Rua.Karena itu Motang Rua sangat patut digolongkan sebagai salah satu pahlawan perintis kemerdekaan Republik Indonesia.





                         RAGAM BUDAYA MANGGARAI

         Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.

1. Religi
         Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.

Compang (Mesbah)
         Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:

Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)

Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :

* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
    Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.

* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud     tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran

2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.

B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang

Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :



Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Kabupaten Manggarai

Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang,
Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu


2. Tu’a Golo
  Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung) Pa’ang’n olon, ngaung’n musi (segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang, mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.

3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas  menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.

4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.

5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.

6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo  adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.

7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.

8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.

9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.

C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang

      Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
       Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.
* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.

* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.

3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.

4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.

5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.
Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.

- Seni Tari
* Ronda
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.

* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera

6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.

7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar