KABUPATEN MANGGARAI.
Kabupaten Manggarai adalah sebuah kabupaten di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten adalah Ruteng. Luas wilayahnya adalah 7.136,4 km², termasuk pulau Komodo dengan jumlah penduduk 504.163 jiwa.
Kabupaten Manggarai dikenal dengan
pertaniannya, antara lain : kopi, cengkeh, vanili, cokelat, dan masih
banyak yang lainnya. Orang Manggarai juga terkenal dengan keramahtamahannya.
Salah satu tarian yang terkenal dari
Manggarai adalah tarian caci yang sudah terkenal di banyak negara seperti Eropa dan Australia.
BENTUK LAMBANG
KABUPATEN MANGGARAI
1. Bentuk lambang Daerah Manggarai
ialah ”PRISAI” bersisi lima yang mempunyai arti:
a. Prisai melambangkan alat pertahanan
dan perlindungan seluruh rakyat;
b. Sisi lima melambangkan Pancasila
sebagai Dasar Negara.
2. Tata warna
lambang berupa kuning, hijau, merah dan hitam diambil dari warna kain tenun
rakyat daerah Manggarai yang mempunyai arti:
a. Kuning adalah keluhuran dan
keagungan serta kejayaan;
b. Hijau adalah harapan masa depan atas
dasar potensi yang ada di daerah;
c. Merah adalah keberanian;
d. Hitam adalah
teguh dan abadi;
3. Lambang
berisikan Rumah Adat melambangkan:
a. Alat
pemersatu seluruh rakyat dalam satu kesatuan dan persatuan nasional dalam
setiap derap langkah pembangunan mental dan
fisik yang mencerminan dalam tingkat kebudayaan, peradaban dan perjuangan hidup
dari zaman ke zaman;
b. Sembilan
tiang Rumah Adat memperteguh adanya pendirian bahwa seorang bayi yang baru
dilahirkan setelah sembilan bulan dalam kandungan ibu adalah harapan bangsa.
4. Lukisan
Gasing yang terdapat pada puncak rumah adat melambangkan keabdian dan keagungan
Tuhan yang maha penyayang memberi dan menyinari segala yang hidup serta
menyelenggarakan seluruh pusaran tata kehidupan daerah khususnya dan rakyak
Indonesia pada umumnya.
5. Lukisan
sepuluh (10) batang tulang ijuk (rimang) diatas kepala manusia melambangkan 10
jari tangan manusia menunjukan bahwa rakyat Manggarai senantiasa memuliakan
Tuhan dan memohon berkat dan perlindunganNya.
6. Kepala
manusia bertanduk mengandung arti bahwa rakyat didaerah Manggarai adalah
manusia banteng dan atau manusia yang kokoh, kuat dan berani serta berkemauan
bagaikan baja dalam menghadapi tantangan hidup.
7. Lilitan tali
ijuk yang terdapat dibawah kepala manusia bertanduk yang mengikat seluruh kasau
dan ujung atas atap ijuk melambangkan:
a. Bhineka
Tunggal Ikha, keutuhan rasa kesatuan yang kokoh mengikat seluruh segi kehidupan
rakyat didaerah yang tidak mudah terpengaruh;
b. Keutuhan
dalam mufakat dan musyawarah yang melembaga dalam kehidupan seluruh rakyat
daerah Manggarai.
8. Buaya darat
(Varanus Commodoensis) sebagai satu-satunya reptil pra sejarah yang masih tetap
hidup di daerah Manggarai, berwarna kuning berbintik coklat dan berdiri dalam
keadaan siaga di depan rumah adat melambankan:
a. Daya tahan
hidup seluruh rakyat daerah dalam menghadapi pelbagai tantangan hidup;
b.
Kesiapsiagaan yang penuh ketenangan, kecermatan kewaspadaan dan kecekatan dalam
setiap gerak kehidupan seluruh rakyat didaerah;
c. Museum bagi
binatang jenis reptil pra sejarah yang bernilai tinggi untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
9. Lukisan satu tangkai kopi dengan 14
butir dan 8 daun kopi serta satu tangkai padi dengan 58 bulir padi
melambangkan:
a. Potensi Daerah Manggarai dalam perjuangan
untuk mempertinggi taraf hidup dan kesejahteraan
seluruh rakyat;
b. Tanggal dan
Tahun berdirinya Daerah Tingkat II Manggarai secara yuridis formil 14 agustus 1958.
10. Pita merah
dengan tulisan ”KABUPATEN MANGGARAI” melambangkan: keberanian, sedangkan tulisan hitam diatas pita
merah melambangkan keteguhan dan pendirian yang kuat dan tidak mudah
tergoyahkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.
11. Ukuran Lambang:
a. Lebar prisai : 22 cm
b. Tinggi prisai : 18,5 cm
kiri/kanan
c. Tinggi prisai tengah : 24 cm
Sumber (Perda Nomor 1 Thn. 1983)
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Copa de Flores" yang berarti " Tanjung Bunga". Nama ini diberikan oleh S.M.Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini secara resmi dipakai sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores sudah dipakai hampir empat abad.
Lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.
Sejarah masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
• Etnis Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen);
• Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
• Etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
• Etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah);
• Etnis Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat Manggarai Barat merupakan bagian dari masyarakat Manggarai. Pada zaman reformasi, Manggarai mengalami perubahan, dengan melakukan pemekaran wilayah menjadi Manggarai dan Manggarai Barat. Perubahan ini terjadi pada tahun 2003. Pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga secara historis antara masyarakat Manggarai dan Manggarai Barat tidak dapat dipisahkan diantara keduanya.
Masyarakat Manggarai (termasuk masyarakat Manggarai Barat) merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat tradisional Manggarai termasuk Manggarai Barat terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo, Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda, Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo'o dan Bajo. Dari setiap kedaluan bersemi mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang, bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan kehidupan purbanya serta titisannya.
a. Sejarah
pemberian nama Manggarai
Nama
Manggarai berasal dari dua suku kata yaitu kata Manggar dan kata Rai. Kata
Manggar diambil dari nama batu yang dibawa oleh Empo Masur seorang keturunan
raja (Raja Luwu) dari Sumatera Barat yang artinya Watu Jangkar yang
biasanya digunakan untuk menahan Wangka (Perahu) ketika Wangka (perahu)
berhenti. Sementara itu, Watu Rai berarti batu asah yang
digunakan untuk mengasah parang, tombak dan lain-lain oleh masyarakat setempat.
Kedua batu ini merupakan dasar pemberian nama Manggarai.
Empo Masur berdampak pada perubahan nama tempat yang
ia datangi yaitu dari nama Nuca Lale atau Lale Lombong berubah menjadi
Manggarai. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya nama Manggarai adalah Lale
Lombong atau Nuca Lale. Adanya perubahan nama Nuca Lale atau Lale Lembong menjadi
Manggarai karena kedatangan Empo Masur membawa banyak perubahan untuk
masyarakat setempat. Kehadiran Empo Masur melahirkan istilah Caci, Lodok
Lingko, Mbaru Niang, Nggong, dan Gendang di Manggarai.
Ada beberapa nilai budaya Daerah Manggarai yang sampai
sekarang ini masih tetap dijaga kelestariannya. Yang pertama adalah budaya
Caci. Caci pertamakali dipelopori oleh Empo Masur. Kata Caci itu sendiri
berasal dari tiga suku kata yaitu ci gici ca. Ketiga kata ini
memiliki kesatuan arti yaitu menguji kemampuan seseorang. Ci artinya
menguji, gici artinya perorang, dan ca artinya
satu. Jadi secara harafiah caci berarti menguji
kemampuan lelaki Manggarai satu persatu. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak
semua laki-laki Manggarai mampu memperagakan Caci. Hal ini dikarenakan, Caci
menuntut para aktornya untuk memiliki keberanian, kelincahan, keindahan suara,
dan pandai bergoyang (lomes). Sejarah munculnya Caci di Manggarai
diawali dengan inspirasi dari Empo Masur yang menghubungkan kebiasaan mereka di
Sumatera Barat (Sabung Kerbau) sebagai budaya untuk menghibur masayarakat.
Perubahan yang dibuat Empo Masur bukan hanya terbatas pada
pembentukan Caci sebagai budaya daerah. Ada beberapa istilah yang dibuat Empo
Masur selama hidupnya di tanah Manggarai yaitu Lodok Lingko, Mbaru Niang,
Nggong, dan Gendang. Sampai sekarang masyarakat Manggarai menggunakan
istilah-istilah budaya ini dalam setiap perhelatan kegiatan kebudayaan.
b. Perkembangan
Manggarai
Pada masanya Manggarai memiliki enam (6) raja. Raja pertama
adalah Raja Lanur yang berasal dari Wudi. Raja kedua adalah raja Sehak yang
berasal dari Ntala Ruteng. Raja ketiga adalah Lontar yang dijuluki Melondek
berasal dari Cabo bagian Cibal. Raja keempat adalah Tamur berasal dari Todo.
Raja kelima adalah Ngambuk yang juga berasal dari Todo. Dan raja yang terakhir
adalah raja Barut.
Pada masa Raja Lontar, daerah Manggarai dibagi kedalam
bentuk Dalu. Dalu dalam pemahaman sekarang disebut Kecamatan. Ada 37 Dalu dalam
Masa kepemimpinan Raja Lontar yaitu Ruteng, Rahong, Ndoso, Kolang, Pongkor,
Poco, Leok, Sita Torok, Golo, Rongga Koe, Kempo, Rajong, Manus, Riwu, Ndehes,
Cibal, Lamba Leda, Reok, Pasat, Nggalak, Bari, Rego, Congkar, Biting, Rembong,
Pota, Manus, Ruis, Mata Wae, Mburak, Welak, Wontong, Lelak, Todo, Bajo, Nggorang,
dan Raju.
Dalam perkembangannya Manggarai memiliki enam Kepala Daerah
yang memimpin Manggarai hingga sekarang. Bupati Manggarai pertama adalah Klorus
Hambur. Kemudian Manggarai dipimpin oleh Bupati yang kedua yaitu Frans S. Lega.
Bupati yang ketiga adalah Frans D. Burhan. Bupati Manggarai yang keempat adalah
Gaspar Ehok. Bupati Manggarai kelima adalah Anton Bagul Dagur. Bupati keenam
yang menjabat sampai sekarang adalah Kris Rotok.
Seperti daerah lain di NTT, Manggarai juga mendapat pengaruh
pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis,
Makasar, Belanda dan sebagainya.
Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.
Cina
Pengaruh Cina cukup kuat dan merata di seluruh propinsi NTT. Di Manggarai, pengaruh Cina dibuktikan dengan ditemukannya barang-barang Cina seperti guci, cermin, perunggu, uang cina dan sebagainya. Pengaruh Cina dimulai sejak awal masehi. Dari benda-benda yang ditemukan di Warloka terdapat sejumlah benda antik dari Dinasti Sung dan Ming, dibuat antara tahun 960 sampai tahun 1644.
Jawa
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timor, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.
Pengaruh Jawa terutama berlangsung pada masa Hindu. Di Timor, pada tahun 1225 telah ada utusan dari Jawa. Diberbagai daerah di NTT ditemukan mitos mengenai Madjapahit. Sedangkan di Manggarai, label Jawa jadi toponimi di beberapa tempat, seperti Benteng Jawa.
Bugis, Makasar, Bima.
Pengaruh Bugis, Makasar di NTT termasuk luas, di Flores,
Solor, Lembata, Alor dan Pantar.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.
Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal.
Kesultanan Goa. Sekitar tahun 1666, orang-orang Makasar, Sultan Goa, tidak hanya menguasai Flores Barat bagian selatan, tetapi juga seluruh Manggarai. Mereka menyetorkan upeti / pajak ke Sultan Goa. Kesultanan Goa berjaya di Flores sekitar tahun 1613 –1640. Pengaruh Goa nampak diantaranya pada budaya baju bodo dan pengistilahan Dewa Tertinggi Mori Kraeng. Dalam peristilahan harian, kata Kraeng dikenakan bagi para ningrat. Istilah tersebut mengingatkan gelar Kraeng atau Daeng dari gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan.
Kesultanan Bima. Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Perang Weol Ikemenangan di pihak Cibal.
Tetapi dalam perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal
mengalami kekalahan. Bima saat itu membantu Todo. Kenyataan ini mengkokohkan
posisi Bima di Manggarai, hingga masuknya pengaruh ekspedisi Belanda pertama
tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah pimpinan Meerburg. Ekspedisi
yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Kehadiran Belanda
di Manggarai, membuahkan perlawanan sengit antara Belanda dan rakyat Manggarai
di bawah Pimpinan Guru Ame numpung yang bergelar Motang Rua tahun 1907 dan
1908. Namun sebelum menghadapi perlawanan Motang Rua, Belanda mendapat
perlawanan dari Kraeng Tampong yang akhirnya tewas ditembak Belanda dan
dikuburkan di Compang Mano.
Selain Kesultanan Goa dan Bima, Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.
Selain Kesultanan Goa dan Bima, Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan Kerajaan Bajo. Pada saat ini bukti serajah tentang kerajaan tersebut yang masih tersisa adalah Kerajaan Todo, walaupun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Referensi tentang penelusuran tentang kerajaan-kerajaan Manggarai sulit untuk didapatkan.
Belanda.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun 1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya sekolah-sekolah dan agama Katolik.
Lepas
dari masalah asal-usul nama Manggarai, kenyataan sejarah sekarang
ini telah mengukir nilai historis yang baru di dalam
nama Manggarai, yaitu nilai kemajuan atau perkembangan Manggarai menjadi
tiga kabupaten yang terus mekar :
(1) Kabupaten
Manggarai, ibu kotanya Ruteng;
(2) Kabupaten
Manggarai Barat, ibu kotanya Labuan Bajo;
(3) Kabupaten
Manggarai Timur, ibu kotanya Borong.
Kabupaten
Manggarai Barat diresmikan pada tanggal 27 Januari 2003 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2003. Kabupaten Manggarai Timur diresmikan pada
tanggal 17 Juli 2007 berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007.
Namun
demikian, tetap harus disadari terus-menerus bahwa keterangan barat dan timur itu hanya
bersifat administratif pemerintahan. Tanah Manggarai
sebagai tana mbaté disé amé (tanah warisan leluhur) tetap
mempunyai satu spirit budaya, yaitu lonto léok bantang cama
réjé léléng (musyawarah mufakat) untuk menata kemajuan. Untuk mencapai
kemajuan itu, tidak cukup hanya dengan modal kemampuan kerja sama. Kemampuan
yang lebih penting dari kemampuan kerja sama ialah kemampuansaling
menjadi sesama berdasarkan pikiran positif tentang sesama.
Kemampuan saling menjadi sesamaberarti kemampuan untuk
menyingkirkan pikiran negatif tentang cama iten (sesama kita
orang Manggarai).
sejarah
perjuangan manggarai : motang rua
Motang Rua adalah pelopor perjuangan rakyat Manggarai untuk
melawan Belanda. Belanda menguasai Manggarai, bagian Barat Flores, pada abad
ke-16. Namun, penguasaan itu tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui
kerajaan Goa-Makasar, yang saat itu membawahi wilayah Manggarai. Dengan kata
lain, kerajaan Goa hadir sebagai kaki tangan Belanda di Manggarai. Eskpansi
langsung Belanda ke Manggarai terjadi dalam tiga kali ekspedisi, yaitu tahun
1850, 1890, dan tahun 1905.
Kehadiran Belanda ini ternyata mendapat penolakan dari
masyarakat setempat. Motang Rua memulai geliat perlawanan nyata. Ia menghimpun
pasukan dan kekuatan. Untuk melancarkan strategi perlawanannya, maka dibangun
benteng pertahanan di Copu Manggarai Tengah. Aksi Motang Rua ini tercium
oleh Belanda. Lalu pada tahun 1907 Belanda mengirimkan pasukan dari Ende ke
Manggarai untuk melumpuhkan Motang Rua. Terjadilah pertempuran sengit.
Yang mengesankan, Motang Rua dan pasukannya berhasil memukul
mundur pasukan Belanda. Padahal tentara penjajah ini menggunakan senjata
modern. Sementara Motang Rua dan pasukannya hanya menggunakan senjata-senjata
tradisional. Dalam kisah lisan, sering dituturkan bahwa senjata utama Motang
Rua adalah kapak.
Ia menghimpun kekuatan rakyat dan mengadakan
persiapan perang dengan Belanda. Mereka membangun sebuah pusat pertahanan Copu.
Mendengar
berita persiapan perang ini, Belanda lalu mengirim suatu ekspedisi tentara dari
Ende ke Manggarai. Setelah ekspedisi ini tiba di Manggarai maka perang pun
meletus dipimpin oleh Motang Rua. Perang ini terjadi pada tahun 1907. Dalam
perang ini pasukan Belanda dikalahkan.
Baru
pada tahun berikutnya, Belanda mengirim ekspedisi lain, untuk langsung
menyerang pusat pertahanan Motang Rua di Copu. Maka terjadilah perang
hidup-mati di Copu di bawah pimpinan Motang Rua. Korban berjatuhan di kedua
belah pihak. Tetapi, dengan persenjataan modern maka akhirnya Motang Rua makin
terdesak dan kalah. Ia ditangkap lalu dibawah ke Kupang untuk diadili. Dari
kupang ia dibuang ke Bima kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan dan pada tahun
1923 ia di buang ke aceh.
Motang
Rua mengakhiri hidupnya di Aceh. Tetapi semangat kepahlawanannya tidak pernah
terbuang dari hati rakyat Manggarai dan seluruh rakyat NTT pada umumnya.
Lukisan
Motang Rua
|
Menyusul pembuangan Motang Rua, banyak rakyat Manggarai
diangkut ke Jakarta untuk dijadikan kuli di sana. Para kuli ini terus menetap
di suatu tempat di Jakarta yang diberi nama Manggarai hingga sekarang. Daerah
Manggarai kini termasuk wilayah Jakarta Selatan. Perjuangan Motang Rua dan
rakyatnya pantas dicatat dalam tinta emas dalam sejarah perjuangan rakyat
Indonesia untuk merdeka.
Nilai-nilai
perjuangan dan pengorbanan Motang Rua patut terpahat dalam hati dan pikiran
setiap cucu-cece Motang Rua di Manggarai dan dimanapun mereka berdiam di
nusantara ini. Mengikuti tempat pembuangannya yang terus berpindah-pindah
hingga wafatnya di Aceh, adalah bukti ketakutan pemerintah Belanda terhadap
perjuangan Motang Rua.Karena itu Motang Rua sangat patut digolongkan sebagai
salah satu pahlawan perintis kemerdekaan Republik Indonesia.
RAGAM BUDAYA MANGGARAI
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.
1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada umumnya gambaran masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sub-sistem religi, sub-sistem organisasi, sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian atau ekonomi, sistem teknologi.
1. Religi
Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.
Compang (Mesbah)
Yang didirikan di tengah kampung karena menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:
Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)
Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)
Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)
Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :
* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:
- Lawang morin agu ngaran
Artinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada Tuhan atas pemberiannya itu.
* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :
- Kamping morin agu ngaran
2. Sistem Organisasi Sosial atau Kemasyarakatan
1. Lembaga adat atau tua adat
* Gendang
A. Sejarah berdirinya gendang
Secara etimologis, gendang adalah alat musik tradisional Manggarai sejenis drum. Sedangkan secara esensial, gendang adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. Seperti masyarakat hukum adat Gendang Mano, Gendang Alang Mano, Gendang Lame, dan Gendang Bea Laing. Sehingga secara umum Gendang adalah nenek moyang dari masyarakat hukum adat tertentu beserta keturunannya yang berkuasa untuk memerintah seluruh masyarakat hukum adat tertentu dan berkuasa atas wilayahnya.
Dalam hal terbentuknya gendang, walaupun memiliki sejarah tersendiri tetapi melihat struktur lembaga hukum adat yang berlaku sampai sekarang di Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, maka gendang dibentuk atau diadakan oleh Gelarang yang tugasnya untuk menyelesaikan sengketa tanah atau lingko yang timbul antara gendang dan menentukan serta membagikan lingko-lingko kepada setiap kampung atau gendang.
Cara lain yang membentuk atau mengadakan gendang adalah sebagai akibat memenangkan perang atau menguasai suatu wilayah kosong.
Gendang Mano yang dimaksud dalam penelitian ini dibentuk setelah menguasai suatu wilayah kosong yang telah ratusan tahun ditinggalkan. Wilayah kosong ini ditemukan oleh nenek moyang orang Mano yaitu suku Kuleng. Suku ini kemudian membentuk Gendang’n one lingko’n pe’ang yang berdiri sampai saat ini. Perlu juga diketahui bahwa nenek moyang pertama yang menguasai wilayah Mano adalah Empo Mbak. Empo Mbak ini adalah pelarian atau orang buangan dari suku Minangkabau sebagai akibat perebutan kekuasaan. Dalam legenda orang Manggarai, Empo Mbak ini adalah seorang keturunan raja Minangkabau.
Dalam perkembangannya, karena memiliki lingko yang luas dan banyak maka Gendang Mano memberikan (widang) suatu lingko kepada orang Alang sebagai tanda persaudaraan.
Kemudian terbentuklah gendang’n onen lingkon’n pe’ang, dari Gendang Alang Mano.
Demikian juga dengan Gendang Bea Laing yang disebut dengan Gendang Ase Ka’e (famili, sanak saudara), karena sebenarnya Bea Laing berasal dari suku Pau Ruteng. Atas kebaikan orang Mano mereka lalu diberikan untuk menghuni wilayah Bangka Pau di Mano kemudian pindah ke Mera Mano. Karena perkembangan akhirnya mereka pindah ke Bea Laing untuk menetap, dan melalui perkawinan maka terjadilah hubungan dengan masyarakat Gendang Mano, karena melalui suatu kebijaksanaan maka Gendang Mano memberikan lingko kepada suku Pau Ruteng.
Sedangkan terbentuknya Gendang Lame atau gendang widang (pembagian) adalah gendang pembagian kepada saudari perempuan atau kepada anak mantu.
Maka Gendang Mano membagi lingko untuk mendirikan Gendang Lame. Serta lembaga hukum adatnya yaitu Gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Sehingga hubungan antara Gendang Mano dan ketiga Gendang tersebut sangat erat dan harmonis dan ketiga Gendang yang dibentuk tetap tunduk dan taat kepada Gendang Mano, seperti dalam hal sebagai berikut :
- Ketiga Gendang harus tunduk dan taat kepada perintah dari Gendang Mano dalam hubungan adat istiadat mengenai lingko.
- Apabila ketiga Gendang tersebut membagi moso atau lodok (membagi tanah per keluarga), Gendang Mano harus mendapatkan juga satu bagian sebagai Gendang induk.
- Masyarakat dari kegita Gendang harus hadir apabila dipanggil oleh Tu’a Gendang Mano sehubungan dengan pesta penti.
B. Fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang
Pada dasarnya fungsi, tugas dan struktur organisasi gendang yang ada di Manggarai sama.
a. Fungsi organisasi gendang :
- Menegakkan sejarah garis keturunan.
- Mempertahankan kekuasaan gendang.
- Mempersatukan warga gendang.
- Menata kehidupan sosial warga gendang.
- Mempertahankan kepemilikan tanah dan mengatur pembagiannya.
- Membentuk pertahanan yang kuat dalam menghadapi musuh.
b. Tugas organisasi gendang :
- Menjaga dan memelihara kesinambungan keberadaan keturunan gendang.
- Menata ketertiban sosial bagi kehidupan warga gendang.
- Memasukkan kehidupan bersama warga gendang.
c. Struktur organisasi gendang
Sebagai tambahan, saya mulai saja dengan melihat kembali sejarah pemerintahan di Manggarai sejak zaman pemerintahan Goa, Bima dan pemerintahan jajahan Belanda. Sehingga struktur pemerintahan pada jaman itu adalah sebagai berikut :
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Kabupaten Manggarai
Membaca dan melihat struktur pemerintahan tersebut jelas terlihat bahwa Raja membentuk dan mengangkat Dalu yang kemudian dinamakan Haminte sampai dengan tahun 1968. Kemudian Dalu membentuk Gelarang yang fungsi dan tugasnya menentukan dan membagi-bagikan Lingko kepada setiap kampung atau gendang serta menyelesaikan sengketa tanah yang timbul antara gendang di setiap kampung atau desa. Keadaan ini berlaku hingga saat ini melalui hukum adat Manggarai, tetapi tidak mutlak untuk membentuk atau mengadakan gendang di setiap kampung.
Keadaan dewasa ini telah menunjukkan bahwa Raja, Dalu dan Gelarang tidak berperan lagi karena organisasinya telah bubar, yang tertinggal hanyalah apa yang dinamakan dengan gendang atau lembaga hukum adat yang disebut dengan gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Mengenai struktur organisasi elit tradisional yang dalam penelitian ini adalah gendang,
Deskripsi jabatan :
1. Tu’a gendang adalah sekelompok orang yang merupakan pendiri gendang dan keturunannya. Sehingga mereka menguasai Beo (kampung) secara keseluruhan yaitu gendang’n onen lingko’n pe’ang.
Keturunan pendiri gendang berhak untuk menjadi :
- Tu’a Golo
- Tu’a Teno
- Ata lami gendang (keluarga yang menempati rumah niang atau rumah gendang dan menjaga serta memelihara).
- Pelaksana ritus gendang yang menentukan penti (syukuran), oli (upacara musim tanam), wasa (mohon penyuburan), dan paki kaba (persembahan).
Gambar 2
Struktur Organisasi Elit Tradisional
Di Desa Mandosawu
2. Tu’a Golo
Adalah Tu’a yang menguasai golo (kampung) Pa’ang’n olon, ngaung’n musi
(segenap wilayah milik gendang yang bertugas memimpin rakyat gendang,
mengontrol dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat sebagai pedoman hidup seluruh
warga gendang dan memberi sanksi bagi yang melanggar tata tertib gendang.
Yang mengangkat Tu’a Golo adalah
Tu’a Gendang. Dia yang diangkat karena turunan pendiri gendang, mempunyai gesah
sebagai pemimpin, taat kepada aturan adat istiadat dan tidak banyak cacat cela
dalam hal moral.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. Dan perlu diketahui bahwa kedudukan Tu’a Golo dan Tu’a Teno adalah sejajar.
3. Tu’a Teno adalah orang yang berasal dari Tu’a gendang dengan tugas menentukan pembagian tanah yang menjadi hak milik gendang, mengamankan pelaksanaan pembagian tanah dan melaksanakan ritus pembagian. Sedang yang menentukan kepemilikan tanah adalah Tu’a Gendang.
4. Tu’a Panga. Panga (bagian atau cabang) adalah sekelompok orang yang merupakan turunan Tu’a Gendang pada lapisan tertentu yang dipercayakan untuk mengurus diri berdasarkan kebijaksanaan Tu’a Gendang, Tu’a Golo dan Tu’a Teno.
Tu’a Panga adalah pemimpin atau kepala panga. Panga terdiri dari beberapa Ame atau keluarga yang berasal dari satu nenek dalam suku tertentu.
5. Tu’a Ame adalah keturunan Tu’a Gendang sesudah lapisan panga dan dipercayakan untuk mengurus diri. Ame terdiri dari beberapa kilo atau keluarga. Tu’a Ame adalah pemimpin keluarga.
6. Tu’a Kilo adalah yang mengetahui atau menguasai suatu keluarga. Tu’a Kilo adalah pemimpin keluarga yang biasanya disandang oleh bapak.
7. Tu’a Wa’u adalah yang mengepalai keturunan pendatang yang telah berkembang dalam gendang dan menerima pembagian tanah. Pada umumnya mereka memiliki hubungan dengan gendang karena faktor perkawinan. Walaupun mereka merupakan keturunan pendatang, namun tetap taat pada tata tertib dan peraturan gendang yang dihuni.
8. Tu’a Wae Tu’a yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang tertua dari gendang tersebut. Biasa disebut dengan wae ka’e atau keturunan tertua.
9. Tu’a Wae Koe yaitu yang mengetahui atau menguasai suku yang termuda dalam gendang. Biasa disebut dengan wae ase atau keturunan termuda.
C. Ruang Lingkup Wilayah Gendang
Wilayah kekuasaan gendang adalah suatu wilayah tertentu dari sebuah kampung atau desa yang terdiri dari beberapa lingko atau tanah dan setiap lingko mempunyai tanah sendiri. Wilayah kekuasaan ini nampak dalam sebutan gendang’n onen atau beon one, lingko’n pe’ang.
Gendang’n one yang dimaksud adalah segenap warga gendang sedangkan lingko’n pe’ang adalah wilayah yang merupakan tanah (lingko) milik gendang.
* Kekerabatan atau Keluarga Perkawinan
(Menyangkut Anak Wina – Anak Rona)
- Sistem perkawinan menurut adat Manggarai
Menurut adat Manggarai, ada tiga cara atau sistem perkawinan yaitu :
a. Cangkang
Perkawinan di luar suku atau perkawinan antar suku. Dalam bahasa adanya dikatakan laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang membuka jalur hubungan baru dengan suku-suku lain. Dengan itu keluarga besar lebih lebar jangkauan hubungan woe nelu-nya. Dari praktek orang tua tempo dulu, orang yang laki pe’ang bukan sembarang orang. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis atau paca. Karena paca itu sendiri bukan cuma soal uang atau hewan, tetapi terutama soal harga diri dan martabat dari kedua belah pihak, antara keluarga pria dan wanita.
b. Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang. Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut saja laki one dan wai leleng one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.
Demikian pula terhadap wanita yang wai leleng one. Berbicara tentang paca untuk orang yang laki one dan wai leleng one tergantung pada jenis tungku.
Menurut adat Manggarai ada beberapa jenis tungku :
- Tungku cu atau tungku dungka
Kawin antara anak laki-laki dari ibu kawin dengan anak perempuan dari saudara itu atau om.
- Tungku nereng nara
- Tungku anak de due
- Tungku canggot
- Tungku ulu atau tungku sa’i
- Tungku salang manga
- Tungku dondot
c. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai perkawinan cako cama tau. Perkawinan cako biasanya orang tua mulai mencobanya pada lapisan ketiga atau lapisan keempat dalam daftar silsilah keluarga. Mengapa dikatakan mencoba? Karena menurut adat Manggarai, tidak semua perkawinan cako direstui mori agu ngaran. Orang Manggarai percaya bahwa Tuhan-lah yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka weki.
* Arti anak wina dan anak rona
Dalam konteks sosial budaya Manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak perempuan atau yang disebut ata pe’ang.
Anak wina – anak rona muncul karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan pihak perempuan disebut anak rona.
3. Ilmu Pengetahuan
Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.
4. Bahasa
Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh.
Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun.
5. Kesenian
Di Manggarai juga tumbuh dan berkembang berbagai jenis kesenian khas daerah ini seperti seni sastra, musik, tari, lukis, disain dan kriya. Dari berbagai jenis kesenian itu, ada dua jenis yang sudah mencapai tingkat sebuah peradaban dan sudah dikenal luas, yakni seni pertunjukan caci dan seni rupa (kriya), songke.
Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.
Beberapa macam kesenian di Manggarai :
- Seni Musik
* Alat-alat musi tradisional : sunding, gong, gendang, tambor, tinding.
- Seni Tenun
* Tenun Songke
Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa porong langkas haeng ntala, supaya senantiasa tinggi sampai bintang.
Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap atau ethos bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
- Seni Sastra
Cerita-cerita rakyat.
- Seni Tari
* Ronda
Ronda adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru.
* Sae
Sebuah tarian adat Manggarai untuk memeriahkan sebuah pesta. Misalnya dalam upacara adat masyarakat yaitu upacara paki kaba dalam rangka congko lokap atau menempatkan kampung baru.
* Sanda
Sebuah nyanyian, yang dinyanyikan oleh banyak orang dalam bentuk lingkaran. Sanda sering dipakai dalam upacara menjelang pesta penti dan pesta adat lainnya.
* Danding
* Wera
6. Sistem Mata Pencaharian atau Ekonomi
Aktivitas perekonomian atau mata pencaharian sudah sangat lama dikenal dalam masyarakat Manggarai. Bahkan sepanjang usia peradaban yang dimilikinya, seusia itu pula pengenalan masyarakat setempat terhadap kegiatan mencari nafkah, berdagang atau bermata pencaharian.
Dalam bidang pertanian, sudah sangat lama dikenal pola perkebunan yang disebut oleh masyarakat setempat dengan lingko (kebun komunal atau sistem pembagian tanah pertanian yang disebut lodok).
Sama seperti halnya sub-sistem sosial yang lain, sub-sistem ekonomi dan mata pencaharian orang Manggarai senantiasa melekat dengan nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran kepada mori jari dedek dan arwah nenek moyang atas hasil padi dan jagung yang diperoleh. Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.
Seperti diketahui, masyarakat Manggarai pada umumnya adalah masyarakat agraris. Secara turun temurun dua jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan jagung. Bahwa kemudian kopi mendapat tempat sebagai komoditas yang akrab dengan orang Manggarai.
Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona.
Di samping mengerjakan sawah, berladang dan menanam kopi orang Manggarai juga terkenal handal dalam beternak kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, ayam, serta melaut.
7. Teknologi
Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya.
Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah.
Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima.
Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun).
Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar.
Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak.
Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daun-daunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri.
Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar